DASAR-DASAR PENYULUHAN
BAB I
PENYULUHAN PERTANIAN DAN PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
A. Penyuluhan
Pertanian
Penyuluhan pertanian terdiri dari dua kata yang
merupakan kata majemuk yaitu gabungan dari kata "penyuluhan" dan
'pertanian'. Penyuluhan berasal dari kata 'suluh' yang berarti obor atau
pemberi terang dalam gelap. Oleh karena itu, penyuluhan dapat diartikan sebagai
usaha memberi terang atau petunjuk bagi orang yang berjalan dalam kegelapan.
Pertanian berarti penerapan karya manusia pada alam tumbuhan dan hewan sehingga
dapat memperoleh dan menaikkan produksi yang lebih bermanfaat bagi kehidupannya
sendiri beserta keluarganya serta bagi lingkungan masyarakat.
Penyuluhan pertanian dari arti katanya adalah usaha untuk memberikan
keterangan, penjelasan, petunjuk, bimbingan, tuntunan, jalan, dan arah yang
harus ditempuh oleh setiap orang yang berusaha tani agar menaikkan guna, mutu
dan nilai produksinya sehingga lebih bermanfaat.
Pada prakteknya penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar
sekolah (non formal) yang ditujukan kepada petani dan keluarganya, dimana
mereka belajar sambil berbuat (learning by doing) untuk mengetahui dan bisa
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan
memuaskan.
Sjawal (1984) mengemukakan bahwa sebagai sistem pendidikan, penyuluhan
adalah usaha untuk menimbulkan perubahan yang diinginkan dalam perilaku
(behavior) para petani dan keluarganya. Perilaku yang diinginkan meliputi
pengetahuan yang lebih luas, keterampilan teknis yang lebih baik, kecakapan
mengelolah yang lebih efisien, sikap yang progresif dan motivasi tindakan yang
lebih rasional.
Totok Mardikanto dan Sri Sutarni Mardikanto merumuskan definisi penyuluhan
pertanian sebagai 'suatu sistem pendidikan non formal di luar sekolah bagi para
petani dan keluarganya agar terjadi perubahan perilaku yang lebih rasional
dengan belajar sambil berbuat (learning by doing) sampai mereka tahu, mau, dan
mampu berswakarsa untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi baik
sendiri-sendiri maupun secara bersamaan guna terus memajukan usaha tani dan
menaikkan jumlah, mutu, macam, serta jenis dan nilai produksinya sehingga
tercapai kenaikan pendapatan yang lebih bermanfaat bagi dirinya sendiri,
keluarganya, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya'.
Definisi atau pengertian penyuluhan penyuluhan juga
dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K), dijelaskan bahwa penyuluhan
pertanian adalah suatu proses pembelajaran yang ditujukan bagi pelaku usaha dan
pelaku utama atau petani, yang bertujuan agar mampu dan mau menolong serta
mengorganisasikan dalam mengakses informasi pasar, pemodalan, teknologi dan
sumber daya lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi usaha,
produktivitas, kesejahteraan dan pendapatan serta meningkatkan kesadaran dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan pengertian atau definisi penyuluhan pertanian, yaitu kegiatan pendidikan nonformal bagi pelaku usaha dan pelaku utama sebagai jaminan atas hak untuk mendapatkan pendidikan, yang diharapkan dapat memanfaatkan sumber daya yang ada untuk meningkatkan dan memperbaiki pendapatan petani beserta keluarganya serta dapat meningkatkan kesejahteraannya.
B.
Penyuluhan
Pertanian Berkelanjutan
Banyak definisi mengenai Pertanian Berkelanjutan
dikemukakan oleh lembaga, pakar atau persorangan. Menurut FAO yang disebut
Pertanian Berkelanjutan adalah setiap prinsip, metode, praktek, dan falsafah
yang bertujuan agar pertanian layak ekonomi, secara lingkungan dapat
dipertanggungjawabkan, secara sosial dapat diterima, berkeadilan, dan secara
sosial budaya sesuai dengan keadaan setempat, serta dilaksanakan dengan
pendekatan holistik. Menurut Thrupp (1996) Pertanian Berkelanjutan sebagai
praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi
menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggung-jawabkan yang secara
skematis digambarkan oleh Gambar 1. Pertanian Berkelanjutan merupakan sistem
usaha tani yang mampu mempertahankan produktivitas, dan kemanfaatannya bagi
masyarakat dalam waktu yang tidak terbatas. Sistem demikian harus dapat
mengkonservasikan sumberdaya, secara sosial didukung, secara ekonomi bersaing,
dan secara lingkungan dapat dipertanggungjawabkan (Untung, 2007).
Pertanian
Berkelanjutan mengutamakan pengelolaan ekosistem pertanian yang mempunyai
diversitas atau keanekaragaman hayati tinggi. Menurut FAO Agricultural
Biodiversity meliputi variasi dan variabilitas tanaman, binatang dan jasad renik
yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi kunci ekosistem pertanian,
struktur dan prosesnya untuk memperkuat/ dan memberikan sokongan pada produksi
pangan dan keamanan pangan. (Ukabc, 2007) Ekosistem dengan kenekaragaman tinggi
lebih stabil dan tahan gocangan, risiko terjadinya kerugian finansial lebih
kecil, dapat mengurangi dampak bencana kekeringan dan banjir, melindungi
tanaman dari serangan hama dan penyakit dan kendala alam lainnya. Diversifikasi
juga dapat mengurangi cekaman ekonomi akibat peningkatan harga pupuk, pestisida
dan input-input produksi lainnya. Ketahanan Pangan merupakan salah satu tujuan
utama Pertanian Berkelanjutan.
Tujuan utama
program Pertanian Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (SARD) adalah
meningkatkan produksi pangan dengan cara yang berkelanjutan serta memperkuat
ketahanan pangan. Dalam Pertanian Berkelanjutan peningkatan produksi pangan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk dilaksanakan secara berkelanjutan dengan
dampak yang seminimal mungkin bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat serta
kualitas hidup penduduk di pedesaan. Program ini meliputi berbagai kegiatan
mulai dari prakarsa pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi, pengembangan
teknologi yang tepat guna hingga dapat menjamin persediaan pangan yang cukup dan
bergizi, akses kelompok-kelompok rawan terhadap persediaan pangan tersebut,
produksi untuk dilempar ke pasar, peningkatan pekerjaan dan penciptaan
penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan, serta pengelolaan sumberdaya alam
dan perlindungan lingkungan.
Tebalnya
dinding-dinding sektor pertanian dan ketahanan pangan khususnya diurusi oleh
banyak sektor dan subsektor atau oleh beberapa departemen dan lembaga non
departemen, semakin menyulitkan koordinasi dan keterpaduan. Sistem pengelolaan
ketahanan pangan menjadi tidak efektif dan efisien, banyak pemborosan, tumpang
tindih dan ketidak-paduan. Departemen Pertanian saat ini tugas utamanya
terutama dalam peningkatan produksi tanaman pangan on farm namun urusan
penyediaan dan distribusi pangan dilaksanakan oleh lembaga lain (Bulog).
Pertanian
dan pangan sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
sehingga diusulkan untuk waktu mendatang kedua bidang atau urusan tersebut
dikelola oleh satu lembaga Pemerintah, baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah. Di tingkat pusat lembaga tersebut adalah Departemen Pertanian dan
Pangan atau Departemen Pangan dan Pertanian . Di tingkat daerah adalah Dinas
Pertanian dan Pangan atau Dinas Pangan dan Pertanian .. Lembaga ini yang
mengurusi pertanian dan pangan sejak dari hulu sampai hilir, dari penyiapan
lahan sampai pengolahan dan pemasaran dan perdagangn hasil pertanian.
Ketahanan pangan suatu bangsa hanya dapat dicapai apabila petaninya memperoleh hak atas air dan hak bagi mereka untuk memperoleh akses pada bibit yang murah. Yang disebut terakhir ini hanya dapat dicapai apabila pemerintah memberikan kembali kepada petani hak mereka untuk memprodusi bibit bagi kepentingan komunitas pertanian mereka. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, harus merubah system penelitian pertanian dengan cara memindahkan kegiatan penelitian dari laboratorium penelitian menjadi penelitian yang dilakukan bersama petani di lahan petani. Pemerintah perlu mengembangkan program penangkar benih desa yang dapat mendukung otonomi petani dalam menyediakan bibit. Seyogyanya penangkar bibit tingkat desa tidak hanya terbatas pada penangkaran bibit padi, tetapi juga penangkaran bibit hortikultura yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pengahsilan petani. Sama halnya bibit padi, bibit tanaman hortikultura juga telah banyak diproduksi oleh perusahaan Trans Nasional (Soetrisno, 1999).
BAB II
SEJARAH, FALSAFAH, PRINSIP, TUJUAN PENYULUHAN
A.
Sejarah Penyuluhan Pertanian
Penggunaan istilah
“Penyuluhan (extension)”, pertama kali dilakukan pada pertengahan
abad 19 oleh Universitas Oxford dan Cambrige pada sekitar tahun 1850 (Swanson,
1997). Dalam perjalannya Van den Ban (1985) mencatat beberapa istilah
seperti di Belanda disebut Voorlichting, di Jerman lebih dikenal sebagai
“advisory work” (beratung), vulgarization (Perancis),
dan capacitacion
(Spanyol).
Roling
mengemukakan bahwa Freire (1973) pernah melakukan protes terhadap kegiatan
penyuluhan yang bersifat top-down. Karena itu, dia kemudian menawarkan
beragam istilah pengganti extension seperti : animation, mobilization,
conscientisation.
Di Malaysia, digunakan istilah
perkembangan sebagai terjemahan dari extension, dan di Indonesia menggunakan
istilah penyuluhan sebagai terjemahan dari Voorlichting
(Belanda).
Rahmat
pambudi, pada awal 1996 mulai nelontarkan pentingnya istilah pengganti
penyuluhan, dan untuk itu dia menawarkan penggunaan istilah transfer
teknologi sebagimana yang digunakan oleh Lionberger dar Gwin (1983).
Pada tahun 1998, Mardikanto menawarkan pengunaan istilah edfikasi, yang
merupakan akronim dari fungsi-fungsi penyuluhan yang meliputi : edukasi,
diseminasi, inovasi, fasilitasi, konsultasi, supervisi, pemantauan dan
evaluasi. Meskipun tidaka ada keinginan untuk mengganti istilah
penyuluhan, Margono Slamet pada kesempatan seminar penyuluhan pembangunan
(2000) menekankan esensi penyuluhan sebagai kegiatan pemerdayaan masyarakat
yang telh mulai lazim digunakan oleh banyak pihak sejak Program Pengentasan
Kemiskinan pada awal dasawarsa 1990-an.
Kelahiran Penyuluhan Pertanian Modern
Swanson et
al (1997) mencatat adanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi kelahiran
penyuluhan pertanian, yang ditandai oleh :
a.
Adanya praktek-praktek baru
dan temuan-temuan penelitian
b.
Kebutuhan tentang pentingnya
informasi untuk diajarkan kepada petani
c.
Tekanan terhadap perlunya
organisasi penyuluhan
d.
Ditetapkannya kebijakan
penyuluhan
e.
Adanya masalah-masalah yang
dihadapi di lapangan
Mengutip
True (1929) Swanson et al (1984) mengemukakan bahwa akar kegiatan penyuluhan
pertanian dapat ditelesuri bersamaan dengan jaman Renaisans yang diawali sejak
abad 14, yaitu sejak adanya gerakan tentang pentingnya kaitan pendidikan dengan
kebutuhan hidup manusia. Pada 1304,
Pietro de Crescenzi menulis buku teks tentang pertanian dalam bahasa latin yang
kemudian banyak diterjemahkan dalam bahasa Itali dan perancis. Sejak saat
itu, kegiatan penulisan buku-buku pertanian semakin banyak bermunculan.
Pada abad 17 dan 18, banyak ditulis pustaka tentang pertanian dibanyak negara
Eropa. Di Inggris sendiri, sebelum tahun 1800 tercatat sekitar 200
penulis. Pada tahun 1784 di London terbit majalah pertanian yang dipimpin
Athur Young, sebagai majalah yang tersebar luas di Eropa dan Amerika.
Pada pertengahan abad 18, banyak kalangan tuan tanah (bangsawan) progresif yang
mengembangkan kegiatan penyuluhan pertanian melalui beragam pertemuan,
demonstrasi, perkumpulan pertanian, dimana terjadi pertukaran informasi antara
pemilik tanah dengan para tokoh petani.
Hal ini disebabkan karena :
1.
Adanya keinginan belajar
tentang bagaimana mengembangkan produktivitas dan
nilai produknya, serta system penyangkapan dan bagi hasil yang perlu
dikembangkan.
2.
Adanya perkembangan ilmu
pengetahuan modern dalam bidang pertanian, khususnya penggunaan agro
kimia dan ilmu fisiologi tanaman (Russel, 1966).
Kelahiran
penyuluhan pertanian modern, sebenarnya baru dimulai di irlandia pada tahun
1847, yaitu sejak terjadinya krisis penyakit tanaman kentang yang terjadi pada
1845-1851 (Jones, 1982). Modernisasi penyuluhan pertanian secara
besar-besaran, justru terjadi di jerman pada akhir abad 19, yang kemudian
Menyebarkan ke Denmark. Swis, Hungaria dan rusia.Sementara itu, Perancis
tercatat sebagai negara yang untuk pertama kali mengembangkan penyuluhan
pertanian yang dibiayai negara sejak tahun 1879.Pada awal abad 20, kegiatan
penyuluhan pertanian umumnya masih dilakukan dengan skala kecil-kecil, baik
yang diorganisir oleh lembaga/instansi pemerintah maupun perguruan
tinggi. Tetapi, seiring dengan perkembangannya, organisasi penyuluhan
pertanian tumbuh semakin kompleks dan semakin birokratis.
Banyak
kalangan yang menyebut kelahiran penyuluhan pertanian di Indonesia bersamaan
dengan dibangunnya Kebun Raya Bogor pada 1817. Tetapi almarhum Prof. Iso
Hadiprodjo keberatan, dan menunjuk tahun 1905 bersamaan dengan dibukanya
Departemen pertanian, yang anatara lain memiliki tugas melaksanakan kegiatan
penyuluhan Pertanian sebagai awal kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia.
Hal ini
disebabkan, karena kegiatan “penyuluhan” sebelum 1905 lebih berupa
pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan “tanam
paksa” atau cultuurstelse. .Selama masa penjajahan Jepang, kegiatan penyuluhan pertanian praktis
terhenti, karena apa yang dilakukan tidak lain adalah pemaksaan-pemaksaan
kepada rakyat untuk mengusahakan bahan dengan dan produk-produk strategis yang
lain.
Setelah masa kemerdekaan,
penyuluhan pertanian mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut:
1.
1945 – 1950, Plan Kasino
(Rencana Produksi 3 tahun, 1948 – 1950) yang tidak dapat terlaksana karena terjadinya revolusi fisik.
2.
1950 – 1958. Plan Kasino
digabung dengan Rencana Wisaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI)
yang dibagi dalam dua tahap: 1950 –1960.
Sejarah Ilmu Penyuluhan Pertanian
Ilmu
penyuluhan pertanian, seperti yang telah dijelaskan di atas, mulai dijadikan
tofik diskusi antar Universitas Oxford dan Cambridge pada perrtengahan abad
ke-19 ditandai oleh tulisan William Sewell berjudul : Suggestions for the
Extension of University (1850). Kemudian masuk ke Amerika pada awal
abad 20 ketika Cooperative Extension Services mengembangkan Land
Grant college.
Meskipun kegiatan penyuluhan
pertanian di Indonesia telah berlangsung hampir se abad, tetapi kehadirannya
sebagai ilmu tersendiri baru dilakukan sejak dasawarsa 60’an yang dikenal
melalui Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Tulisan-tulisan tentang
penyuluhan pertanian, masih ditulis dalam bentuk booklet yang diterbitkan oleh
Departemen Pertanian, yang anatara lain ditulis oleh : Hasmosoewignyo arifin
Mukadas, dan Sukandar Wiriatmadja. Sedang buku teks tentang penyuluhan
yang pertama kali, ditulis oleh Soejitno pada tahun 1968.Dilingkungan perguruan
tinggi, ilmu penyuluhan pertanian baru dikembangkan sejak 1976 bersamaan dengan
dibukanya jurusan Penyuluhan Pertanian di Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Sedang untuk program S1, program studi penyuluhan dan komunikasi perrtanian
baru dibuka sejak 1998. Sebelum itu, di Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada) ilmu penyuluhan pertanian diajarkan dalam mata kuliah Paedagogiek
Penyuluhan Pertanian.
Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan
Di masa mendatang, kegiatan
penyuluhan pertanian akan menghadapi tantangan-tantangan, terutama yang
diakibatkan oleh pertumbuhan populasi penduduk ditengah-tengah semakin
sempitnya lahan pertanian, sehingga usaha tani harus semakin mengkhususkan diri
serta meningkatkan efesiensinya.Dalam persfektif pemerintah, apapun prioritas
yang akan ditempuh, kegiatan penyuluhan pertanian akan tetap menjadi kebijakan
kunci untuk mempromosikan kegiatan Pertanian Lestari, baik dalam kontek lagi
maupun social ekonomi ditengah-tengah system pemerintahan yang birokratis dan
semakin terbatas kemampuannya untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik.
Dilain pihak, kegiatan penyuluhan harus semakin bersifat “Fartisipatif”
yang diawali dengan analisis tentang keadaan dan kebutuhan masyarakat melaluui
kegiatan penilaian Desa Partisipatip atau participatory rural appraisal/PRA
Chambers, 1993. Meskipun demikian, kegiatan penyuluhan pertanian akan
banyak didukung oleh kemajuan teknologi informasi. Karena itu, di masa
depan, kekuatan dan perubahan penyuluhan pertanian akan selalu terkait dengan
keempat hal yang akan sebagai berikut ini (Rivera dan Gustafson, 1991) :
1.
Iklim ekonomi dan politik
Sejak krisis ekonomi dan
politik melanda beberapa negara pada akhir abad 20, banyak negara yang tidak
lagi mampu membiayai kegiatan publik ditengah-tengah tuntutan
demokratisasi. Karena itu, kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan secara
lebih efesien untuk dapat melayani kelopok sasaran yang lebih luas, dan dilain
pihak, pemerintah akan lebih banyak menyerahkan kegiatan penyuluhan kepada
pihak swasta.
2. Konteks social di wilayah pedesaan
Di masa depan, masyarakat
pedesaan relatif berpendidikan, lebih banyak memperoleh informasi dari media
masa serta terbuka dari isolasi geografis, lebih memiliki aksesabilitas dengan
kehidupan bangsanya sendiri dan dunia internasional. Karena itu,
penyuluhan pertanian harus mampu menjawab tantangan pertumbuhan penduduk,
meningkatnya urbanisasi, perubahan aturan/kebijakan, persyaratan pasar, serta
kebutuhan masyarakat akan beragam layanan seperti : pelatihan, spesialisasi,
pelatihan kompetensi dan bentuk-bentukOrganisasi (Moris, 1991).
Sehubungan dengan
itu, penyuluhan pertanian di masa depan harus meninggalkan monopoli pemerintah
sebagai penyelengara penyuluhan, mampu melayani beragam kelompok sasaran yang
berbeda, tidak saja terkait dengan keragaman kategori adapternya, tetapi juga
yang terkait dengan aksebilitas pasar, derajat komersialisasi serta
ketergantunganya pada usaha tani untuk perbaikan pendpatan dan
kesejahteraannya.
3. Sistem Pengetahuan
Terjadinya perubahan politik
yang berdampak pada debirokratisasi, desentralisasi (pelimpahan
kewenangan) dan devolusi (penyelenggaraan kewenangan) kepada masyarakat
local, juga akan berimbas pada pengembangan usaha tani yang memiliki spesifikasi
local. Pengakuan terhadap pentingnya spesifikasi local, harus
dihadapi dengan pengakuan penyuluh terhadap kemampuan petani, pengalaman
petani, penelitian yang dilakukan petani, serta upaya-upaya pengembangan yang
dilakukan. Oleh sebab itu, penyuluh harus menjalin hubungan yang
parsitisipatif dengan kelompok sasarannya, khususnya dalam pemanfaatan media
massa untuk mrnunjang kegiatan di wilayah kerjanya.
4. Teknologi Informasi
Perkembangan telekomunikasi dengan penggunaan komputer pribadi/PC akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan pertanian dimasa depan. Kelompok sasaran yang memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi/IT akan relatif lebih indefenden. Dengan demikian, fungsi sitipenyuluhan tidak lagi “menyampaikan pesan” melainkan lebih dari menjalin interaksi yang partisiatif dengan kelompok sasarannya.
B. Falsafah Penyuluhan Pertanian
Falsafah
berarti
pandangan, yang akan dan harus diterapkan. Falsafah penyuluhan berpijak pada pentingnya
pengembangan individu dalam menumbuhkan masyarakat dan bangsa. Falsafah penyuluhan berakar pada falsafah Negara Pancasila,
terutama pada sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Jika pelaku utama dan pelaku usaha agribisnis diminta bekerja keras meningkatkan
produksinya, seluruh warga Indonesia harus mau mengangkat harkat mereka, demi
kemanusiaan dan keadilan sosial, yang berlandaskan pada kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menghargai prinsip demokrasi, serta demi tercapainya
persatuan bangsa (Margono Slamet, 1989).
Meskipun telah lama dipahami bahwa
penyuluhan merupakan proses pendidikan, tetapi dalam sejarah penyuluhan
pertanian di Indonesia, terutama selama periode pemerintahan Orde Baru,
kegiatan penyuluhan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kekuasaan melalui
kegiatan yang berupa pemaksaan, sehingga muncul gurauan: dipaksa, terpaksa,
akhirnya terbiasa. Terhadap kenyataan
seperti itu, Soewardi (1986) telah mengingat kepada semua insan penyuluhan
kembali untuk menghayati makna penyuluhan sebagai proses pendidika. Diakui,
penyuluhan melalui pendidikan akan memakan waktu lebih lama untuk mengubah
perilaku masyarakat, tetapi perubahan perilaku yang terjadi akan berlangsung
lebih kekal. Sebaliknya, meskipun penyuluhan melalui pemaksaan dapat lebih
cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan perilaku tersebut akan segera
hilang, manakala faktor pemaksanya sudah dihentikan.
Dalam khasanah kepustakaan
penyuluhan pertanian, banyak kita jumpai beragam falsafah penyuluhan pertanian.
Berkaitan dengan itu, Ensminger (1962) mencatat adanya 11 (sebelas) rumusan
tentang falsafah penyuluhan. Di Amerika
Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3-T: teach, truth, and trust
(pendidikan, kebenaran dan keperca-yaan/keyakinan). Artinya, penyuluhan
merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah
diyakini. Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk
menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah
diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi
perbaikan kesejahteraannya.Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling
banyak dikemukakan oleh banyak pihak dalam banyak kesem-patan adalah, yang
dikutip Kelsey dan Hearne (1955) yang menyatakan bahwa falsafah penyuluhan
harus berpijak kepada pentingnya pengembangan individu di dalam perjalanan
pertumbuhan masyarakat dan bangsanya.
Karena itu, ia mengemukakan bahwa:
falsafah penyuluhan adalah: bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar
mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help
themselves).
Dari
pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa:
1.
Penyuluh harus bekerjasama dengan
masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat (Adicondro, 1990). Kehadiran
penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan
suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, mengge-rakkan, serta
memelihara partisipasi masyarakat.
2.
Penyuluhan tidak boleh menciptakan
ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya krea-tivitas
dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa,
swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna
tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.
3.
Penyuluhan yang dilaksanakan, harus
selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan
peningkatan harkatnya sebagai manusia.Dari kalangan pakar Indonesia, tercatat:
Mengacu
kepada pemahaman tentang penyuluhan sebagai proses pendidikan, di Indonesia
dikenal adanya falsa-fah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro
yang berbunyi:
a.
Ing ngarso sung tulodo, mampu
memberikan contoh atau taladan bagi masyarakat sasarannya;
b.
Ing madyo mangun karso, mampu
menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi
untuk selalu belajar dan mencoba;
c.
Tut wuri handayani, mau menghargai
dan mengikuti ke-inginan-keinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat
petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi
tercapainya tujuan perbaikan kese-jahteraan hidupnya.
Masih
bertolak dari pemahaman penyuluhan merupa-kan salah satu sistem pendidikan,
Mudjiyo (1989) mengingat-kan untuk mengaitkan falsafah penyuluhan dengan
pendidik-an yang memiliki falsafah: idealisme, realisme dan pragmatis-me, yang
berarti:
a. Penyuluhan
pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu
berfikir kreatif dan dinamis.
b. Di samping
itu, penyuluhan pertanian harus selalu meng-acu kepada kenyataan-kenyataan yang
ada dan dapat dite-mui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan
yang dihadapi.
c. Meskipun
demikian, penyuluhan harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan
bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir.
Lebih
lanjut, karena penyuluhan pada dasarnya harus merupakan bagian integral dan
sekaligus sarana pelancar atau bahkan penentu kegiatan pembangunan, Margono
Slamet (1989) menekankan perlunya falsafah penyuluhan yang harus berakar pada
falsafah negara Pancasila, terutama yang berka-itan dengan sila-sila:
Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Artinya, jika petani (sebagai sasaran utama penyuluhan pertanian)
diminta untuk bekerja lebih keras guna meningkatkan produk-sinya. Seluruh
bangsa Indonesia juga harus mau mengangkat harkat kaum taninya demi kemanusiaan
dan keadilan sosial, yang berlandaskan pada kepercayaan kepada Yang Maha Esa,
menghargai prinsip demokrasi, serta demi tercapainya persatuan bangsa
Indonesia.
Dalam
pengertian di atas, perlu dipahami bahwa, petani bukanlah orang bodoh dan
karena itu tidaklah pantas untuk tetap dibiarkan atau bahkan dibuat hidup dalam
kemiskinan dan penderitaan. Petani haruslah dilihat seba-gai manusia biasa yang
memiliki potensi untuk mengem-bangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan
harapan untuk terlepas dari kemiskinan dan penderitaan yang tidak mereka
kehendaki.
Karena itu,
pelaksanaan penyuluhan pertanian harus mampu tidak saja mengem-bangkan potensi
petani tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri
untuk mengembang-kan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan.
Dengan demikian, penyuluhan pertanian harus didukung oleh kegiatan lain yang
dapat menjadikan petani (yang selama ini bodoh dan miskin itu) sebagai
petani-petani tangguh. Petani tangguh bukanlah petani yang dengan penuh
kesabaran sanggup tahan hidup dalam kebodohan dan penderitaan, tetapi petani yang
terus menerus mampu mengem bangkan potensi yang dimilikinya untuk dengan
kreatif berswakarsa dan berswadayaa dalam meningkatkan produkti-vitas dan
pendapatannya demi perbaikan kesejahteraan keluar-ga dan masyarakatnya.
Sehubungan
dengan falsafah penyuluhan pertanian yang berlandaskan pada falsafah Pancasila,
Soetrisno (1989) minta agar juga mengkaitkannya dengan motto bangsa yang:
Bhineka Tunggal Ika yang membawa konsekuensi pada:
1.
Perubahan administrasi penyuluhan
dari yang bersifat “regulatif sentralistis” menjadi “fasilitatif partisipatif”.
2.
Pentingnya kemauan penyuluh untuk
memahami budaya lokal yang seringkali juga mewarnai “local agriclutural
practices”.
Pemahaman
seperti itu, mengandung pengertian bahwa:
1.
Administrasi penyuluhan tidak selalu
dibatasi oleh per-aturan-peraturan dari “pusat” yang kaku, karena hal ini
seringkali menjadikan petani tidak memperoleh keleluasa-an mengembangkan
potensi yang dimilikinya. Demikian juga halnya dengan administrasi yang terlalu
“sentralistis” seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi
per-masalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu
“petunjuk/restu” dari pusat.Padahal, dalam setiap permasalahan yang dihadapi,
peng-ambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali berdasarkan
pertimbangan bagaimana untuk dapat “menyelamatkan keluarganya”. Dalam
kasus-kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya
pula mengambil inisyatifnya sendiri. Di lain pihak, administrasi yang terlalu
“regulatif” seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk mengambil
keputusan bagi usahataninya.
2.
Penyuluh, selain memberikan
“ilmu”nya kepada petani, ia harus mau belajar tentang “ngelmu”nya petani yang
seringkali dianggap tidak rasional (karena yang oleh penyuluh dianggap rasional
adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat). Padahal, praktek-praktek usahatani
yang berkembang dari budaya lokal seringkali juga sangat rasional, karena telah
mengalami proses “trial and error” dan teruji oleh waktu.
Berkaitan
dengan falsafah “helping people to help them-selves” Ellerman (2001) mencatat
adanya 8 (delapan) peneliti yang menelusuri teori pemberian bantuan, yaitu:
1.
Hubungan Penasehat dan Aparat
Birokrasi Pemerintah (Albert Hirschman), melalui proses pembelajaran tentang:
ide-ide baru, analisis keadaan dan masalahnya yang diikuti dengan tawaran
solusi dan minimalisasi konfrontasi/kete-gangan yang terjadi: antara aparat
pemerintah dan masya-rakat, antar sesama aparat, dan antar kelompok-kelompok
masyarakat yang merasa dirugikan dan yang menimati ke-untungan dari kebijakan
pemerintah.
2.
Hubungan Guru dan Murid (John
Dewey), dengan memberikan:
·
Kesempatan untuk mengenali
pengalamanannya,
·
Stimulus untuk berpikir dan
menemukan masalahnya
sendiri,
·
Memberikan kesempatan untuk
melakukan “peneliti an”
·
Tawaran solusi untuk dipelajari
·
Kesempatan untuk menguji idenya
dengan aplikasi langsung
3.
Hubungan Manajer dan Karyawan
(Douglas McGregor), melalui pemberian tanggungjawab sebagai alat kontrol diri
(self controle)
4.
Hubungan Dokter dan Pasien (Carl
Rogers), melalui pemberian saran yang konstruktif dengan memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki dan atau diusahakannya sendiri.
Uji-coba kegiatan melalui pemberian dana dan manajemen dari luar, ternyata
tidak akan memberikan hasil yang lebih baik.
5.
Hubungan Guru Spiritual dan Murid
(Soren Kierkegaard), melalui pemahaman bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat
diketahui oleh yang mengalaminya (diri sendiri).
Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus merendah diri, siap
melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar
6.
Hubungan Organisator dan Masyarakat
(Saul Alinsky), melalui upaya demokratisasi, menumbuh-kembangkan partisipasi,
dan mengembangkan keyakinan (rasa percaya diri) untuk memecahkan masalahnya
sendiri.
7.
Hubungan Pendidik dan Masyarakat (Paulo
Freire), melalui proses penyadaran dan memberikan kebebasan untuk melakukan
segala sesuatu yang terbaik menurut dirinya sendiri.
8. Hubungan Agen-pembangunan dan Lembaga Lokal (E.F. Schumacher), melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan seseorang (masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan perbaikanperbaikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.
C.
Prinsip Penyuluhan
Pertanian
Prinsip merupakan suatu pernyataan mengenai
kebijaksanaan yang dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan
dilaksanakan secara konsisten. Dalam kegiatan penyuluhan, prinsip menurut
Leagans (1961) menilai bahwa setiap penyuluh dalam melaksanakan kegiatannya
harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang sudah disepakati agar dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik.
Mardikanto
(1993) menyatakan bahwa merujuk pada pemahaman penyuluhan pertanian sebagai
proses pembelajaran, maka prinsip-prinsip dalam penyuluhan pertanian sebagai
berikut:
1.
Mengerjakan; artinya kegiatan
penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk menerapkan
sesuatu.
2.
Akibat; artinya kegiatan pertanian
harus memberikan dampak yang memberi pengaruh baik.
3.
Asosiasi; artinya kegiatan
penyuluhan harus saling terkait dengan kegiatan lainnya. Misalnya apabila
seorang petani berjalan di sawahnya kemudian melihat tanaman padinya terserang
hama, maka ia akan berupaya untuk melakukan tindakan pengendalian.
Lebih lanjut
Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa yang mencakup
prinsip-prinsip penyuluhan pertanian:
1.
Minat dan kebutuhan; artinya
penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan
masyarakat, utamanya masyarakat tani.
2.
Organisasi masyarakat bawah; artinya
penyuluhan akan efektif jika mampu melibatkan organisasi masyarakat bawah dari
setiap keluarga petani.
3.
Keraguan budaya; artinya penyuluhan
harus memperhatikan adanya keragaman budaya.
4.
Perubahan budaya; artinya setiap
penyuluhan akan mebgakibatkan perubahan budaya.
5.
Kerjasama dan partisipasi; artinya
penyuluhan hanya akan efektif jika menggerakkan partisipasi masyarakat untuk
selalu bekerjasama dalam melaksanakan program-program penyuluhan yang telah
dicanangkan.
6.
Demokrasi dalam penerapan ilmu;
artinya dalam penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk menawar setiap alternatif.
7.
Belajar sambil bekerja; artinya
dalam kegiatan penyuluhan pertanian harus diupayakan agar masyarakat dapat
belajar sambil berbuat, atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu
yang ia kerjakan.
8.
Penggunaan metode yang sesuai;
artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang selalu
disesuaikan dengan kondisi lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai
sosial budaya.
9.
Kepemimpinan; artinya penyuluh tidak
melakukan kegiatan yang hanya bertujuan untuk kepuasan sendiri, tetapi harus
mampu mengembangkan kepemimpinan.
10. Spesialis
yang terlatih; artinya penyuluh harus benar-benar orang yang telah mengikuti
latihan khusus tentang segala sesuatu yang sesuai dengan fungsinya sebagai
penyuluh.
11. Segenap keluarga; artinya penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial.
D.
Tujuan Penyuluhan Pertanian
Tujuan
penyuluhan pertanian adalah dalam rangka menghasilkan SDM pelaku pembangunan
pertanian yang tangguh, bertani lebih baik, (better farming), berusaha tani
lebih menguntungkan (better bussines), hidup lebih sejartera (better living)
dan lingkungan lebih sehat. Penyuluhan pertanian dituntut agar mampu
menggerakan masyarakat , memberdayakan petani, pengusaha pertanian dan pedagang
pertanian serta mendampngi petani untuk:
a.
Membantu menganalisis
situasi-situasi yang sedang mereka hadapi dan melakukan perkiraan ke depan.
b.
Membantu mereka memperoleh
pengetahuan/informasi guna memecahkan masalah.
c.
Membantu mereka menemukan masalah
d.
Membantu mereka mengambil keputusan
dan
e.
Membantu mereka menghitung besarnya
resiko atas keputusan yang diambilnya.
Keberhasilan penyuluhan pertanian dapat dilihat dengan indikator banyaknya petani, pengusaha pertanian yang mampu mengelola dan mengerakan usahanya secara mandiri, ketahanan pangan yang tangguh, tumbuhnya usaha pertanian skala rumah tangga sampai menengan berbasis komoditi unggulan di desa. Selanjutnya usaha tersebut diharapkan dapat berkembang mencapai skala ekonomis. Semua itu berkolerasi pada keberhasilan perbaikan ekonomi masyarakat, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, lebih dari itu akan bermuarta pada peningkatan pendapatan daerah. (bacadisinisaja.blogspot.com/ 2012 /04/ tugas-komunikasi-dan-penyuluhan.html, 14 September 2014, 22:56)
BAB III
UNSUR – UNSUR PENYULUHAN PERTANIAN
Unsur – Unsur Penyuluhan Pertanian
a) Penyuluhan Pertanian (Sumber)
Penyuluh pertanian adalah orang yang mengemban tugas memberikan dorongan
kepada para petani agar mau mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara
hidupnya yang lama dengan cara-cara baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman,
perkembangan teknologi pertanian yang lebig maju. Dengan demikian seorang
penyuluh pertanian dalam kegiatan tugasnya yang diemban akan mempunyai 3
peranan yang erat , yaitu :
1.
Berperan sebagai pendidik.
Yang memberikan pengetahuaan / cara-cara baru dalam dudidaya tanaman, agar para
petani lebih terarah dalam usaha pertanian.
2.
Berperan sebagai pemimpin.
Yang dapat membimbing dan memotifasi para petani agar mau mengubah cara
berfikir.
3.
Berperan sebagai penasehat.
Yang dapat melayani, memberi
petunjuk-petunjuk dan membantu petani baik dalam bentuk peragaan /
memberikan contoh-contoh kerja dalam usaha tani.
Berdasarkan
fungsi atau tugasnya, maka kita akan mendapatkan:
1.
Penyuluh yang langsung
berhubungan dengan para petani. Ia harus di kenal oleh para petani. Oleh karna
itu ia harus sering bertatap muka dengan para petani dipedesaan dalam
menyampaikan segala amanat yang berkaitan dengan usaha tani. Dalam hal ini
misalnya : Penyuluh Pertanian Lapangan ( PPL), Penyuluh Pertanian Media ( PPM).
2. Penyuluh yang tidak langsung berhubungan dengan para petani. Yang pada umumnya terdiri dari para ahli pertanian yang berkedudukan sebagai pegawai pada Dinas Pertanian.
b)
Sasaran Penyuluhan
Pertanian
Sasaran penyuluhan pertanian yaitu siapa sebenarnya yang disuluh atau ditujukan kepada siapa penyuluhan pertanian tersebut. Maka dengan tegas
kita dapat menyatakan bahwa sasaran penyuluhan pertanian adalah para petani
beserta keluarganya. Menurut ROGERS penduduk desa mempunyai sifat sebagai
berikut :
·
Mutual distrust in
interpersonal relation
Pada
umumnya mereka kurang saling merasakan dalam pergaulan diantara mereka sendiri.
Dalam hal ini kita sering mendapatkan kenyataan bahwa petani yang memperoleh
kemajuan, terlebih-lebih kalau hal itu berlangsung dalam waktu yang sangat
singkat, petani itu dianggap melakukan hal/ kegiatan yang “ bukan-bukan”. Para
petani lainnya jarang lelakukan pendekatan, mencari infirmasi nyata kegiatan
apa yang menjadikan kemajuannya itu.
·
Lack and difficult to
innovate new ideas and technology
Sulit dan
sangat kekurangan daya untuk mendapatkan paham atau ide-ide baru, pada umumnya
para petani selalu tertutup sehingga tidak mampu menentukan ide-ide baru bahkan
untuk menerapkan cara-cara baru yang masuk kedalam masyarakatnya harus melalui
beberapa tahapan atau baru akan menerimanya setelah nyata keyakinanya bahwa
akan menguntungkan.
·
Lack thiking for the future
Kurang
kemampunya untuk memikirkan kehidupannya dumasa depan misalnya sehabis panenan
sudah menjadi kebiasaan untuk melakukan perayaan khitanan, perkawinan yang
meriah sehingga kekurangan biaya ditutup denga kredit yang kadang-kadang
berbunga besar. Menabung untuk hari depan bagi keluarganya jarang sekali perfikirkan.
·
Low aspirational level
Motivasinya untuk memikirkan peningkatan atau perbaikan pada yang sekarang
dialami adalah rendah, demikian pula aspirasinya untuk meningkatkan taraf
hidupnya.
·
Lack of deffered to
gradification
Pada
umumnya mereka kurang dapat mengekang nafsu, tida dapat menahan diri terhadap
sesuatu yang diinginkannya, kurang cermat dan tidak mampu mengambil kepuutusan
yang menguntungkan. Hal ini terbukti dari banyaknya hubungan dengan para
pengijon dan kaum lintah darat.
·
Limited time expected
Pada
umumnya mereka kurang dapat membedakan apayang kini sedang mereka hadapi, yang
sudah terjadi dan apa yang mungkin bakal mereka hadapi. Keneng-kenangan
keadaan, kejadian dimasa lampau/ yang telah terjadi sangat berbekas pada
dirinya, sehingga perencanaan untuk masa depan tidak diperhatikannya.
·
Familism
Jalinan
dengan keluarga sendiri sangat erat sehingga kerap kali jalinan dengan orang
lain terabaikan, terutama dalam hal sambil koreksi. Dalam masyarakat yang
menganut system marga selalu terdapat kecurigaan terhadap mereka yang bukan
sanak.
·
Dependent upon government
authority
Pembuatan
sarana – sarana yang menunjang dan melncarkan usaha tani (IRIGASI) jalan dan
jembatan. Menurut anggapan kebanyakan dari mereka adalah merupakan kewajiban
dari pejabat penguasa ( PEMERINTAH).
·
Local likeness
Sifatnya
sangat local, pergerakannya dalam masyarakat demikian terbatas sehingga
kebanyakan dri mereka kurang mengetahui perubahan – perubaan keadaan yang
berlngsung diluar lingkunganya.
·
Lack of impaty
Mereka
pada umumnya kurang mampu atau katakanlah kehilangan kemampuannya untuk
mengetahui dan menepatkan diri dalam kemauan atau kehendak orang lain sehingga
kerap kali sulit untuk berkomunikasi.
Di antar
sekian banyak petani dalam masyarakat petani tentu ada petani – petani yang
tergolong innovator, early adopter, yang keadaannya dapat mudah diketahui,
mereka itu perlu didekati, terutama early adopter yang dapat dimanfaatkan untuk
membantu memperlanacar segala kegiatan penyuluhan sehingga prosesnya dapat
dipercepat.
c)
Metode Penyuluhan Pertanian
Kegiatan penyuluhan pertanian tidak dapat digunakan begitu saja, oleh
karena itu memerlukan metode atau
cara – cara yang dapat digunakan, yang harus bersifat mendidik, membimbing dan
menerapkan, sehingga para petani dapat menolong dirinya sendiri, mengubah
tingkat pemikiran, tingkat kerja dan tingkat kesejahteraan hidupnya.
Dalam penyuluhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
1.
Personal approach method
(metode pendekatan perorangan)
Metode ini dilakukan dengan
pendekatan – pendekatan secara langsung pada petani, biasanya dilakukan dengan
cara kunjungan – kunjungan ke rumah, kunjungan ke ladang, maupun hubungan
telepon. Metode ini sangat efektif karena petani dapat secara langsung
memecahkan apa yang menjadi masalahnya. Penyuluhan yang dilakukan dengan metode
pendekatan perorangan akan menyampaikan petani ke tahap penerapan, ia mulai
menerapkan teknologi baru yang diajarkan/dikembangkan penyuluh.
2.
Group approach method
(metode pendekatan kelompok)
Metode ini dilakukan dengan
pendekatan pada para kelompok – kelompok tani, dimana para petani diberi bimbingan dan dan diarahkan secara
berkelompok. Bimbingan seperti ini dapat saling membantu antara satu petani
dengan petani yang lain karena pelaksanaannya secara berdiskusi, saling tukar
pendapat dan pengalaman. Metode ini lebih memudahkan penyuluh, sebab penyuluh
tidak terlalu terkuras tenaganya. Metode ini mulai menarik para petani ke
tahapan minat, tahapan menilai/mempertimbangkan, bahkan mencobanya pula.
3.
Mass approach method (metode
pendekatan masal/umum)
Metode ini biasanya tertuju
pada petani perkampungan/pedesaan. Metode ini dipandang dari segi penyampaian
informasi memang metode ini baik, sebab penyampaian informasi dapat dilakukan
secara keseluruhan para petani. Tetapi bila dilihat dari segi keberhasilannya
akan kurang efektif, karena apabila pertemuan – pertemuan yang dilakukan secara
masal akan menimbulkan tidak kosentrasinya para petani dalam hal mendengarkan apa yang disampaikan
penyuluh. Metode ini pada dasarnya masih pada tahapan kesadaran (menaruh
perhatian) akan tetapi belum memahaminya secara mendalam.
Penyuluhan dapat
digolongkan berdasarkan bagaimana penyuluh menyampaikan materi/isi, yaitu :
1.
Metode yang dapat
didengar, metode ini biasanya melalui
telepon, ceramah, pidato, dll. Hasil penangkapan dari mendengar bagi responden yaitu 10%.
2.
Metode yang dapat dilihat,
metode ini dalam bentuk gambar, spanduk/poster, film bisu, pameran tanpa
penjelasan vocal, dll. Hasil penangkapan dari melihat bagi responden yaitu 50%.
3.
Metode yang dapat didengar
dan dilihat, penyuluh dapat menyajikan dengan gambar di televise, film
bersuara, dll. Hasil penangkapan dari melihat, dan mendengar yaitu 90%
d)
Media Penyuluhan Pertanian
Menurut bentuknya dibedakan
(Samsudin) :
a.
Media visual : madia yang sifatnya
dapat dilihat (slide, transparansi, gambar mati)
b.
Media audio : media yang sifatnya
dapat didengar (radio, peta didengar)
c.
Media audio visual : media yang
sifatnya dapat didengar dan dilihat (televisi, film)
d.
Media tempat memeragakan (papan
tulis, papan tempel, OHP, papan planel)
e.
Media pengalaman nyata atau media
tiruan (simulasi, contoh benda nyata)
f.
Media cetakan (bukubacaan, leaflet,
folder, poster, brosur)
e)
Materi
Penyuluhan pertanian
Materi yang disampaikan
penyuluh menyangkut ilmu dan teknologi pertanian yang belum diketahui para
petani. Materi penyuluhan harus sesuai dengan kebutuhan sasaran (petani) yaitu
usaha perbaikan produksi, perbaikan pendapatan dan perbaikan tingkat kehidupan
dengan demikian maka petani akan tertarik perhatiannya dan terangsang untuk
mempraktekkannya. Selain harus sesuai dengan kebutuhannya maka harus pula :
1.
Sesuai dengan tingkat
kemampuan petani
2.
Mengena pada perasaannya
3.
Memeberi atau mendatangkan
keuntungan ekonomis
4.
Mengesankan dan merangsang petani untuk melaksanakan perubahan
5.
Bersifat praktis
6.
Menggairahkan para petani
sehingga para petani seakan-akan terbujuk untuk selalu memperhatikan, menerima dan melaksanakan
kegiatan yang diterapkan.
f)
Waktu
Penyuluhan Pertanian
Untuk mencapai keberhasilan
dalam penyuluhan maka penyuluh harus melakukan pendekatan – pendekatan tetapi haruslah diketahui waktunya yang
tepat. Penyuluh harus mengetahui :
1.
Kapan para petani ada di
lapangan, aktif bekerja.
2.
Kapan para petani ada di rumah, bersantai –
santai dengan keluarganya
3.
Kapan para petani berkumpul
di suatu tempat, bersantai, berbincang – bincang mengemukakan berbagai berita
dan masalah
BAB IV
SASARAN DAN STRATEGI PENYULUHAN
Sasaran
Penyuluhan Pertanian
Soejitno (1968) menyatakan bahwa yang menjadi sasaran penyuluhan adalah
petani dan keluarganya, yaitu bapak tani, ibu tani dan pemuda/pemudi atau
anak-anak petani.
Menurut Totok Mardikanto dan
Sri Sutarni (1982) sasaran oenyuluhan dapat dikelompokkan sebagai:
a. Sasaran Utama Penyuluhan Pertanian
Yang dimaksud dengan sasaran utama
adalah sasaran penyuluhan yang secara langsung terlibat dalam kegiatan bertani
dan mengolah usahatani. Termasuk dalam kelompok ini adalah petani dan
keluarganya.
b. Sasaran Penentu Dalam Penyuluhan Pertanian
Yang dimakasud dengan sasaran
penentu adalah bukan pelaksana kegiatan bertani dan berusahatani, tetapi secara
langsung atau tidak langsung terlibat dalam penentuan kebijakan pembangunan
pertanian, dan atau menyediakan segala kemudahan yang diperlukan petani dalam
pelaksanaan dan pengelolaan usahataninya. Termasuk dalam kelompok ini adalah:
·
Pengusaha atau pimpinan
wilayah
·
Tokoh-tokoh informal
·
Para peneliti dan para ilmuwan
·
Lembaga pengkreditan
·
Produsen dan penyalur sarana
produksi/peralatan bertani
·
Pedagang dan lembaga pemasaran
yang lainnya
·
Pengusaha/industri pengolahan
hasil-hasil pertanian
c. Sarana Pendukung penyuluhan pertanian
Yang dimaksud dengan sarana
pendukung adalah pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung tidak
memiliki hubungan kegiatan dengan pembangunan pertanian, tetapi dapat diminta
bantuannya guna melancarkan penyuluhan pertanian.
Termasuk dalam kelompok ini adalah :
·
Para pekerja social
·
Seniman (terutama seniman/pelakon kesenian tradisional)
·
Konsumen hasil-hasil pertanian
·
Biro iklan
Strategi Penyuluhan Pertanian
Strategi penyuluhan pertanian haruslah mampu menjawab tantangan-tantangan
pembangunan pertanian yang sifatnya universal. Sebagai pendidikan non formal
yang berusaha untuk meningkatkan produksi hingga tercapainya kehidupan petani
yang lebih baik, tentu akan beralasan sekiranya arah dan tujuan dari strategi
penyuluhan pertanian tersebut selalu di kelingkan pada pemenuhan maksud diatas.
Dalam rangka meraih hasrat semacam itulah, maka dalam uraian ini disiapkan
beberapa gagasan dan sumbangan saran yang sebaiknya di perhatikan. Baik oleh
pemerintah ataupun kelompok masyarakat lainnya.
Selama kurang lebih 15 tahun Indonesia
melaksanakan pembangunan yang berencana (PELITA), ternyata banyak kemajuan yang
telah dicapai. Dari sekian banyak sektor yang berhasil.
Pembangunan
pertanian khususnya tanaman pangan, untuk komoditi padi benar-benar menunjukkan
hasil yang memuaskan.
Peningkatan
produksi padi Indonesia betul-betul sangat spektakuler, hingga sangat beralasan
kalau pada akhirnya Affandi selaku Menteri muda urusan produksi pangan menegaskan
bahwa sejak tahun 1983 ini Indonesia berhak untuk swasembada beras. Suatu
prestasi pembangunan yang wajib dijadikan contoh/teladan.
Namun
begitu juga perlu disadari bahwa pembangunan pertanian, tidaklah hanya terbatas
pada aspek peningkatan produksi semata, atribut swasembada beras, juga bukan
jaminan yang argumentatif untuk menyatakan keberhasilan pembangunan pertanian.
Yang jelas, keadaan setelah produksi berhasil di tingkatkan, masalah-masalah
yang timbul adalah:
1.
Pasca
penen dan pemasaran umumnya akan tampil menjadi persoalan pembangunan
pertanian.
2.
Alat
transportasi yang kurang didapati di pedesaan yang jauh dari perkotaan juga
menjadi persoalan berikutnya.
Itulah barang kali salah satu sebab mengapa para
pakar pertanian sering menyatakan bahwa pasca panen, pemasaran, dan alat
transportasi adalah persoalan yang tidak boleh dilibatkan urgensinya, keduanya
pantas disebut “The secondary problems”.
Pada intinya perkembangan pertanian di Indonesia
dan khusus di sentra-sentra produksi akan terhambat oleh sistem pemasaran hasil
pertanian yang tidak efisien. Faktor yang lain juga yang menjadi penghambat
yang menonjol dalam sistem pemasaran hasil pertanian adalah kurangnya informasi
pasar.
Kelangkaan informasi pasar cenderung akan
menyebabkan timbulnya keadaan yang tidak berimbang yang tercermin dalam
fluktasi harga dan perbedaan harga yang cukup besar antara daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya.
Konsekuensi dari suasana yang demikian adalah
(1) besarnya risiko usaha dan turunnya gairah berproduksi dari para petani
produsen itu sendiri (2) langkanya informasi pasar juga akan menyebabkan
turunnya kekuatan tawar-menawar di tingkat petani produsen.
Dengan demikian usaha-usaha pemerintah untuk
menyelenggarakan informasi pasar hasil pertanian yang cepat dan cermat untuk
meningkatkan pengetahuan petani pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
terhadap perkembangan harga, dan sangat penting dalam mencapai tujuan
mening-katkan efisiensi pemasaran hasil pertanian di Indonesia.
Akibatnya, kalau saja pemerintah berkenan untuk
menyelenggarakan suatu kegiatan yang diarahkan untuk meluruskan cita-cita
diatas, maka sudah sepantasnya jika kegiatan yang akan ditempuh tersebut, tetap
diarahkan guna memperbaiki pelayanan informasi pasar, sebagai langkah awal
dalam rangka pengintegrasian menuju suatu sistim pasar nasional.
Pada sudut lain, juga terbukti bahwa disamping
adanya hasrat seperti diatas tadi, maksud dari pengembangan informasi pasar
adalah :
·
Agar
petani dan pedagang mampu pula mengarahkan produksi bahan makanannya serta
pemasaran yang sesuai dengan harga pasaran.
·
Mengurangi
fluktasi harg dan resiko pemasaran serta meningkatkan kekuatan tawar-menawar
para petani produsen sendiri.
Informasi pasar yang dirancang dengan bijaksana,
juga memberikan data harga yang dapat diandalkan dan berguna untuk menetapkan
kebijak-sanaan atau untuk bahan pengkajian dan penelitian di Universitas/PT.
Berikut ini penulis mencoba akan membahas secara
sederhana tentang salah satu aspek dari informasi pasar yang paling urgen dan
mendesak untuk dilaksanakan dan kegiatan ini adalah pentingnya
pelayanan informasi, harga sebagai penunjang terciptanya informasi pasar yang
rasional, realistik dan sesuai pula dengan kebutuhan serta minat petani di
pedesaan.
Hal ini perlu untuk disampaikan, mengingat
beberapa pertimbangan adalah salah satunya adalah adanya fakta yang menyatakan
bahwa hingga detik ini pemerintah telah merintis satu kerjasama teknis antar
pihak Indonesia dengan negara Jerman Barat, kegiatan ini populer dengan sebutan
pelayanan informasi harga ATA 85/86.
Sejak sekarang, jika kita kaji dengan seksama
tentang konsep dasar dari rintisan pemerintah, jelas terlihat bahwa sistim
pelayanan informasi harga yang telah diujicobakan di beberapa sentra produksi,
umumnya akan dicirikan oleh dua kegiatan yang paling penting :
a.
Pertama adalah yang menyangkut pengumpulan data,
pengolahan data dan pengiriman data.
b.
Kedua adalah mengenai penyampaian dan penyebaran
informasi kepada kelompok ssaran lewat media massa
BAB V
MODEL PENDEKATAN PENYULUHAN
Model-model
Penyuluhan Pertanian
Pada awalnya, semua pembangunan pertanian dan pedesaan diatur oleh
pemerintah pusat. Rembug desa hanyalah formalitas dan masyarakat desa kurang
dilibatkan dalam proses awal perencanaa, pelaksanaa, monitoring dan evaluasi.
Semua serba seragam tetapi tidak ada dinamika demokrasi yang menumbuhkan
partisipasi, kemandirian dan rasa memiliki.
Kelemahan metode penyuluhan pertanian top down yang ada sekarang
ini adalah sebagai berikut :
1.
Penyuluh
sering memandang dirinya sebagai pakar, bukan sebagai fasilitator yang
memotivasi pengembangan teknologi spesifik lokalita. Hubungan petani – penyuluh
menyerupai komunikasi antara guru dan siswa, padahal seharusnya hubungan mereka
atas dasar kemitraan.
2.
Penyuluh
kurang menyadari bahwa kehadiran teknologi baru seharusnya sebagai pelengkap
dari sistem teknologi setempat yang sudah ada, tanpa harus
menggusurnya.masuknya teknologi baru tidak berarti memarjinalkan teknologi
tradisional lokal yang sudah ada, karnea belum tentu teknologi baru membawa
banyak manfaat untuk masa sekarang dan masa mendatang.
3.
Penyuluh
kebanyakan hanya mendapatkan pelatihan teknis pertanian tanpa dibekali
pengetahuan manajemen perubahan psikologi social akibat inovasi teknologi baru
4. Penyuluh kurang mendapatkan gaji dan insentif yang memadai sehingga peran dan kinerjanya dalam memebrdayakan masyarakat tani yang menjadi binaanya menjadi tidak optimal
Model
Penyuluhan Bottom Up ( Penyuluhan Partisipatif )
Penyuluhan partisipatif merupakan pendekatan
penyuluhan dari bawah ke atas (bottom up) untuk memberikan kekuasaan kepada
petani agar dapat mandiri, yaitu kekuasaan dalam peran, keahlian, dan
sumberdaya untuk mengkaji desanya sehingga tergali potensi yang terkandung,
yang dapat diaktualkan, termasuk permasalahan yang ditemukan (Suwandi, 2006).
Penyuluhan pertanian partisipatif yaitu masyarakat
berpartisipasi secara interaktif, analisis-analisis dibuat secara bersama yang
akhirnya membawa kepada suatu rencana tindakan. Partisipasi disini menggunakan
proses pembelajaran yang sistematis dan terstruktur melibatkan metode-metode
multidisiplin, dalam hal ini kelompok ikut mengontrol keputusan lokal (BBPP
Lembang). Berdasarkan atas UU SP3K pasal 26 ayat 3, dikatakan bahwa
"Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui
mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi
pelaku utama dan pelaku usaha".
Dengan pelatihan metode penyuluhan pertanian
partisipatif, para penyuluh pertanian akan termotivasi untuk menggali
keberadaan sumber informasi pertanian setempat yang mudah diakses oleh yang
memerlukan, baik penyuluh maupun petani. Pelatihan juga akan mendorong
inisiatif positif para penyuluh pertanian dan petani, melalui pendekatan
partisipatif untuk mendapatkan solusi permasalahan usahatani di lapangan (BBPP
Lembang, 2009)
BAB VI
ETIKA KELEMBAGAAN PENYULUHAN
Etika (dalam bahasa Yunani Kuno : “ethikos”, berarti
“timbul dari kebiasaan”) adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang
utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti
benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika kelembagaan adalah aturan, nilai-nilai, etika dan
tingkah laku yang harus dijunjung dan dilaksanakan oleh setiap anggota dalam
berperilaku dalam lembaga.
Adapun etika kelembagaan penyuluhan pertanian adalah :
1.
Menjunjung
nilai-nilai Ketuhanan
2.
Menjaga
nama baik lembaga
3.
Melaksanakan
tugas dan fungsi lembaga serta profesi
4.
Menjunjung
visi dan misi lembaga
BAB VII
ETIKA PROFESI PENYULUHAN
Etika adalah
sebuah refleksi kritis dan moral yang menentukan dan terwujud dalam sikp dan
dola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Menurut
Magnis Suseno, etika adalah sebuah ilmu dan bukan suatu ajaran.Moralitas adalah
sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem
nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan
peraturan, perintah dan semacamnya yang bersifat turun temurun.Jadi moralitas
adalah petunjuk konkrit yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup
sedangkan etika adalah perwujudan secara kritis dan rasional ajaran moral yang
siap pakai itu.Pada dasarnya keduanya memberi kita orientasi bagaimana dan
kemana kita harus melangkah dalam hidup ini. Tetapi bedanya moralitas langsung
mengatakan “inilah caranya harus melangkah”, Sedangkan etika justru
mempersoalkan “apakah harus melangkah dengan cara ini dan mengapa harus dengan
cara ini”
Pembagian
Etika
Dalam
kaitannya dengan nilai dan norma, kita menemukan 2 macam etika:
1.
Etika deskriptif, berbicara mengenai
fakta apa adanya, yakni mengenai nilai dan pola prilaku manusia sebagai suatu
fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya
2.
Etika normatif, berbicara mengenai
norma-norma yang menentukan tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan
himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan
norma-norma.
Perbedaannya
adalah etika deskriptif memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan
tentang perilaku dan sikap yang mau diambil sedangkan etika
normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka
tindakan yang diputuskan.
Secara umum
norma dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1.
Norma khusus, contohnya bermain bola
2.
Norma umum, terdiri dari:
3.
Norma sopan santun, contohnya cara
bertemu, makan, duduk dan sebagainya
4.
Norma hukum, lebih tegas dan pasti
karena dijamin oleh hukum terhadap para penggarnya
5.
Norma moral, yakni aturan mengenai
sikap dan perilaku manusia sebagai manusia. Penilaiannya bukan berdasarkan
profesi tetapi manusia yang menjalankan profesi tertentu.
a. Sistematika
Etika
Etika secara
umum dapat dibagi menjadi 2 kategori:
1.
Etika umum, berbicara mengenai
kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, mengambil
keputusan secara etis serta tolak ukur dalam menilai baik buruknya suatu tindakan.
2.
Etika khusus, merupakan penerapan
prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan
seperti “bagaiman saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan
dan kegiatan khusus yang lakukan yang didasari olah cara, teori dan prinsip
moral dasar”
3.
Etika individual, menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri
4.
Etika sosial, berbicara mengenai
kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota manusia
b. Pendapat dan Aliran dalam Etika
1. Etika Deontology
Deontolgi
berarti kewajiban (duty) maksudnya bahwa manusia ditekankan untuk berbuat baik.
Menurut etika ini suatu tindakan dikatakan baik bukan nilai berdasarkan akibat
atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri
sebagai baik pada dirinya sendiri.
Menurut
Immanuel Kant (1764 – 1804), kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya
sendiri terlepas dari apa pun juga. Dalam menilai seluruh tindakan kita,
kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari
segalanya.
Ada 2 pokok
yang ditekankan oleh Kant:
1.
Tidak ada di dunia ini yang dianggap
baik tanpa kualifikasi kecuali kemauan baik.
2.
Tindakan yang baik adalah tindakan
yang dijalankan demi kewajiban.
2. Etika
Teleologis
Teori ini
mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut.
Ada 2 aliran
etika teleologis
1.
Egoism
Menurut
aliran yang dapat dinilai baik itu adalah sesuatu yang memberi mandaat bagi
kepentingan diri, kepada vakunya. Sebab itu orang seperti ini disebut egoism
2.
Utilitarianisme
Paham ini
menilai baik dan tidaknya, susila atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari
segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya.
Dikenalkan
ada 2 jenis yaitu:
·
Utilisme Individual
Paham ini
menganggap seseorang boleh bersikap sesuai dengan situasi yang menguntungkan
dirinya. Jadi boleh berpura-pura hormat, bersikap menjilat asalkan perbuatan
membwa keuntungan bagi individu
·
Utilisme Sosial
Paham ini
beranggapan demi untuk kepentingan orang banyak tidak ada berdusta, tidak apa
bermulut manis. Dipakai dalam kelangkaan politis atau diplomatic
Egoism
menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari
tindakan bagi diri sendiri, sedangkan utilisme menilai baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan bagi banyak orang
3.
Universitas
Berarti
umum. Universalisme sebagai ajaran etika berarti sesuatu dapat dinilai baik
bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak. Universalisem berarti
memikirkan kepentingan umum dimana kepentingan individu tidak terpadat di
dalamnya.
4.
Intuitionisme
Berasal dari
kata intuition: ilham, bisikan kalbu. Paham ini berpendapat bahwa baik buruknya
atau susah tidaknya dapat merupakan suatu pertimbangan rasa yang timbul dari
bisikan kalbu. Bukan merupakan pemikiran secara analisis tapi dengan jalan
perenungan dan semadi.
Menurut
psikologi dan sosiologi, ada 2 sumber kekuatan yang mempengaruhi perbuatan dan
kelakuan seseorang:
1.
Ekstern : pengaruh pergaulan,
ajaran/pendidikan, kebudayaan
2.
Intern : pengaruh cara berpikir,
karsa/kemauan, insting, dan kejiwaan.
5.
Hedonism
Berasal dari
kiat hedone : pleasure : kesenangan. Prinsipnya bahwa sesuatu dianggap baik
sesuai dengan kesenangan yang didatangkan. Jadi semua yang mendatangkan
kesusahan dianggap tidak baik. Penganut ajaran ini biasanya boros dan memburu kesenangan
tanpa melihat halal-haramnya
6.
Eudemonisme
Berasal dari
kata eudaemonisme : happy : bahagia, dengan menitik beratkan pada rasa. Prinsip ajaran menilai baik buruk sesuatu berdasarkan
ada tidaknya kebahagiaan yang didatangkan. Walau menempuh jalan yang susah tapi
didapatkan perasaan bahagia maka cara ini dianggap baik oleh aliran ini.
7.
Altruisem
Berasal dari
kata alteri : others : prinsipnya mengutamakan kepentingan orang sebagai lawan
kepentingan diri sendiri.
8.
Tradisional
Berasal dari
kata tradisional : kebiasaan, adat-istiadat. Menurut paham ini susah tidaknya
dinilai dari sebagai kebiasaan atau adat istiadat yang berlaku. Apa yang memperkukuh
tradisi dianggap baik dan yang menentang dianggap tidak baik.
c. Etika
Penyuluhan Pertanian
Kegiatan
penyuluhan bukan lagi menjadi kegiatan sukarela tetapi telah berkembang menjadi
profesi, karena itu setiap penyuluh perlu memegang teguh Etika Penyuluhan.Suatu
kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah “kegiatan penyuluhan” bukan lagi
menjadi kegiatan sukarela, tetapi telah berkembang menjadi “profesi”.
Meskipun
demikian, pelaksanaan penyuluhan pertanian belum sungguh-sungguh dilaksanakan
secara profesional. Hal ini, terlihat pada:
1.
Kemampuan penyuluh untuk melayani
kliennya yang masih terpusat pada aspek teknis budidaya pertanian, sedang aspek
manajemen, pendidikan kewirausahaan, dan hak-hak politik petani relatif tidak
tersentuh.
2.
Kelambanan transfer inovasi yang
dilakukan penyuluh dibanding kecepatan inovasi yang ditawarkan kepada
masyarakat oleh pelaku bisnis, LSM, media-masa dan stakeholder yang lain.
3.
Kebanggaan penyuluh terhadap jabatan
fungsional yang disan-dangnya yang lebih rendah dibanding harapannya untuk
mem-peroleh kesempatan menyandang jabatan struktural.
4.
Kinerja penyuluh yang lebih
mementingkan pengumpulan “credit point” dibanding mutu layanannya kepada
masyarakat
5.
Persepsi yang rendah terhadap
kinerja penyuluh yang dikemukakan oleh masyarakat petani dan stakeholder yang
lain.
Kenyataan-kenyataan
seperti itu, sudah lama disadari oleh masyarakat penyuluhan pertanian di
Indonesia, sehingga pada Kongres Penyu-luhan Pertanian ke I pada tahun 1986
disepakati untuk merumuskan “Etika Penyuluhan” yang seharusnya dijadikan
acuan perilaku penyuluh..
Pengertian
tentang Etika, senantiasa merujuk kepada tata pergaulan yang khas atau
ciri-ciri perilaku yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengasosiasikan
diri, dan dapat merupakan sumber motivasi untuk berkarya dan berprestasi bagi
kelompok tertentu yang memilikinya.
Etika
bukanlah peraturan, tetapi lebih dekat kepada nilai-nilai moral untuk
membangkitkan kesadaran untuk beriktikad baik dan jika dilupakan atau dilanggar
akan berakibat kepada tercemarnya pribadi yang bersangkutan, kelompoknya, dan
anggota kelompok yang lainnya (Muhamad, 1987).
Sehubungan
dengan itu, Herman Soewardi mengingatkan bahwa penyuluh harus mampu berperilaku
agar masyarakat selalu memberi-kan dukungan yang tulus ikhlas terhadap
kepentingan nasional.
Tentang hal
ini, Padmanegara (1987) mengemukakan beberapa perilaku yang perlu ditunjukkan
atau diragakan oleh setiap penyuluh (pertanian), yang meliputi:
1.
Perilaku sebagai manusia seutuhnya,
yaitu manusia yang ber-iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, dan
disiplin.
2.
Perilaku sebagai anggota masyarakat, yaitu mau
menghormati adat/kebiasaan masyarakatnya, menghormati petani dan keluarga-nya
(apapun keadaan dan status sosial ekonominya), dan meng-hormati sesama
penyuluh.
3.
Perilaku yang menunjukkan
penampilannyaa sebagai penyuluh yang andal, yaitu:
berkeyakinan kuat atas manfaat tugasnya, memiliki tanggungjawab yang besar
untuk melaksanakan peker-jaannya, memiliki jiwa kerjasama yang tinggi, dan
berkemam-puan untuk bekerja teratur.
4.
Perilaku yang mencerminkan dinamika, yaitu
ulet, daya mental dan semangat kerja yang tinggi, selalu berusaha mencerdaskaan
diri, dan selalu berusaha meningkatkan kemampuannya.
Mengingat
beratnya tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan profesinya, penyuluh
pertanian dituntut untuk berbuat dan berperilaku sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat profesinya, sehingga apapun yang dilakukannya tidak akan merugikan
petani-nelayan yang dilayaninya serta tidak menodai citra profesi penyuluh pertanian.
Untuk itu,
diperlukan sebuah kode etik yang dapat dipakai sebagai acuan perilaku profesi
bagi Penyuluh Pertanian dalam melaksanakan tugasnya. Kode etik ini diberi nama Panca
Etika Penyuluh Pertanian, yaitu:
1.
Penyuluh Pertanian beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta senantiasa menghormati dan
memperlakukan petani-nelayan beserta keluarganya sebagai subjek dan mitra kerja
yang berkedudukan sederajat dengan dirinya.
2.
Penyuluh Pertanian senantiasa
menempatkan keinginan dan kebutuhan petani-nelayan sebagai dasar utama
pertimbangan dalam mengembangkan program apapun bersama petani-nelayan berserta
keluarganya.
3.
Penyuluh Pertanian senantiasa lugas,
tulus dan jujur dalam menyampaikan informasi, saran ataupun rekomendasi dan
bertindak sebagai motivator, dinamisator, fasilitator serta katalisator dalam
membimbing petani-nelayan beserta keluarganya.
4.
Penyuluh Pertanian senantiasa
memiliki dedikasi dan pengabdian untuk membela kepentingan petani-nelayan atas
dasar kebenaran serta dalam melaksanakan tugas senantiasa memperlihatkan
perilaku teladan, serasi, selaras dan seimbang kepada semua pihak.
5.
Penyuluh Pertanian senantiasa
memelihara kesetiakawanan dan citra korps Penyuluh Pertanian atas prinsip “Silih
Asuh-Silih Asih dan Silih Asah” serta senantiasa bersikap dan bertingkah
laku yang menghormati agama, kepercayaan, aturan, norma, dan adat istiadat
setempat.
Penyuluh
pertanian dalam menjalankan profesinya, berhubungan dengan pemerintah wajib
melakukan hal sebagai berikut:
1.
Memiliki
komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan nasional utamanya bidang
pertanian sebagaimanaa ditetapkan dalam perUndang-undangan.
2.
Membantu
program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan berusaha.
3.
Berusaha
menciptakan, memelihara, dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4.
Tidak
menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan kerja
pertanian untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran pertanian.
5.
Tidak
melakukan tindakan pribadi atau membantu kepentingan orang lain maupun kelompok
serta unsur kedinasan yang dapat berakibat pada kerugian negara.
DAFTAR PUSTAKA
Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. 1994
Prof. Dr. Ir. Soedarmanto.M.Ed. ISBN – 2003.979 – 508 – 15. 2003
Dasar-dasar Penyuluhan Modernisasi Pertanian 1976
Ir. Mulyadi Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyuluhan
Pertanian. 2002
Totok Mardikanto.
1992. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. University Press.
Surakarta.
Suhardiyono, L. 1992. Penyuluhan : Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Erlangga.
Jakarta.
Samsudin, U. 1997. Dasar-dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Binacipta.
Bandung.
Subekti, S. 2007. Penyuluhan Pertanian. Laboratorium Komunikasi dan Penyuluhan.
Jember.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University
Press. Surakarta.
Van Den Ban dan Hawkin, 1999, Penyuluhan pertanian. Kanisius. Yogyakarta.
Vitayala, A, Prabowo Tjitropranoto, dan Wahyudi Ruwiyanto. 1992. Penyuluhan.
https://www.santoso-ssmm.com/2012/02/unsur-unsur-penyuluhan-pertanian.html
Komentar
Posting Komentar